Oleh : Oloan Gani
EDISINEWS.ID | JAKARTA – Program Pembinaan Aktivis Jakarta seharusnya menjadi mercusuar harapan bagi generasi muda ibu kota. Sebuah platform yang dijanjikan untuk merangkul ide-ide segar, semangat berkontribusi, dan inovasi anak muda dalam membangun Jakarta yang lebih baik. Namun, di balik glamor dan seremoni pengumuman pemenang, tersimpan cerita pilu tentang sebuah proses seleksi yang dinodai oleh bayang-bayang ketidakobjektifan yang tebal.
Banyak dari kami, para peserta, yang awalnya percaya bahwa ini adalah ajang yang fair. Kami menyusun proposal dengan susah payah, merancang program kerja yang detail, dan mematangkan presentasi dengan harapan dapat meyakinkan dewan juri. Kriteria penilaian yang diumumkan—seperti orisinalitas gagasan, dampak sosial, kelayakan implementasi, dan rekam jejak—seolah menjadi kompas yang akan menuntun kami menuju kemenangan.
Namun, kenyataannya justru mempertontonkan hal sebaliknya.
Pertama, kriteria yang “tidak jelas” dan berubah-ubah. Selama proses penilaian, terasa sekali bahwa bobot kriteria tidak transparan. Proposal-proposal yang secara teknis sangat kuat, dirancang dengan riset mendalam, dan memiliki dampak yang terukur, justru kalah dengan proposal yang terkesan “biasa” namun dibawakan oleh individu atau kelompok yang memiliki “koneksi” tertentu. Seolah-olah ada parameter lain yang tidak tertulis, yang justru lebih berpengaruh daripada kualitas proposal itu sendiri.
Kedua, dewan juri yang tidak independen. Desas-desus yang beredar di antara peserta sulit untuk diabaikan. Banyak yang mempertanyakan komposisi dan independensi dewan juri, yang diduga kuat memiliki kedekatan dengan beberapa kelompok tertentu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah penilaian benar-benar dilakukan berdasarkan meritokrasi, ataukah ada pertimbangan lain di luar itu? Ketika nama-nama pemenang diumumkan, pola yang terlihat justru menguatkan dugaan ini—sebagian besar pemenang berasal dari lingkaran organisasi atau kelompok yang sama, yang notabene dekat dengan para pengambil keputusan di Dispora DKI.
Ketiga, tidak adanya transparansi dan akuntabilitas. Setelah pengumuman, tidak ada ruang bagi peserta untuk mendapatkan feedback atau penjelasan mendetail mengapa proposal mereka kalah. tanpa breakdown nilai atau analisis kelemahan proposal. Ketidaktransparan ini menutup segala celah untuk melakukan evaluasi dan justru membuka ruang bagi spekulasi tentang kecurangan. Sebuah proses seleksi yang sehat seharusnya berani terbuka dan mempertanggungjawabkan keputusannya.
Yang paling menyakitkan adalah pesan yang disampaikan secara implisit oleh Dispora DKI melalui ketidakobjektifan ini: bahwa semangat dan kerja keras tidaklah cukup. Bahwa untuk diakui di ibu kota, “siapa yang kamu kenal” lebih penting daripada “apa yang kamu tahu dan bisa lakukan”. Ini adalah tamparan keras bagi semangat kerelawanan dan idealismen pemuda. Program yang seharusnya membina justru berpotensi mematikan motivasi dan menanamkan sikap sinis.
Kami tidak meminta banyak. Kami hanya meminta proses yang adil, transparan, dan objektif. Kami meminta Dispora DKI Jakarta untuk tidak hanya menjadikan Program Pembinaan Aktivis Jakarta sebagai proyek pencitraan belaka, tetapi benar-benar sebagai wadah untuk menemukan dan memberdayakan potensi terbaik pemuda Jakarta, dari mana pun asalnya.
Ketika objektivitas diabaikan, yang tersisa hanyalah kepahitan dan hilangnya kepercayaan. Dan jika ini terus berlanjut, maka Program Pembinaan Aktivis Jakarta tidak akan lebih dari sekadar panggung bagi mereka yang sudah memiliki akses, sementara suara-suara genuin dan penuh ide dari pinggiran kota kembali tenggelam, tak terdengar.
(Cardi S).