EDISINEWS.ID | JAKARTA – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai dorongan publik agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset segera disahkan merupakan hal wajar mengingat masifnya praktik korupsi dan kejahatan ekonomi. Namun, BPKN mengingatkan bahwa percepatan tidak boleh mengorbankan ketelitian, sebab regulasi ini menyentuh hak kepemilikan pribadi yang dijamin UUD 1945.
BPKN menekankan pentingnya kepastian hukum, akuntabilitas, dan perlindungan konsumen/masyarakat dalam setiap pasal RUU. “Instrumen perampasan aset memang dibutuhkan untuk memulihkan kerugian negara dan menutup celah kejahatan ekonomi. Tetapi desainnya harus presisi agar tidak berbalik menimbulkan ketidakadilan bagi warga yang taat hukum,” demikian garis besar sikap Mufti Ketua BPKN RI.
Titik Kritis yang Diminta BPKN :-
– Batas yang jelas atas objek dan ruang lingkup aset yang dapat dirampas, hanya terkait langsung dengan tindak pidana, bukan aset sah milik pihak tak terkait.
– Due process ketat & kontrol hakim pada seluruh tahapan: penyitaan, pembekuan, hingga perampasan, termasuk hak banding dan mekanisme keberatan yang efektif.
– Penerapan konsep NCBAF (perampasan aset tanpa pemidanaan) bila diadopsi, wajib dipagari standar pembuktian yang tinggi, transparansi, dan pengawasan peradilan agar tidak disalahgunakan.
– Perlindungan pihak ketiga beritikad baik (pengguna/konsumen/pemilik sah) serta mekanisme pemulihan/kompensasi bila terjadi salah sita. Sejumlah organisasi antikorupsi juga mengusulkan pembatasan nilai dan cakupan agar fokus pada kejahatan berat dan mencegah overreach.
Transparency International Indonesia
– Standar transparansi & akuntabilitas: kewajiban publikasi putusan, pelaporan periodik, audit independen, dan kanal pengaduan yang mudah diakses.
– Sinkronisasi regulasi dengan KUHAP/KUHP dan aturan sektoral (perbankan, fidusia, kepailitan, perlindungan data), agar tidak tumpang tindih dan merugikan pelaku usaha maupun konsumen.
– Kelembagaan pelaksana yang jelas, ramping, dan diawasi lintas lembaga, agar efektivitas pemulihan aset berjalan tanpa memperbesar biaya kepatuhan publik.
Kenapa Harus Hati-Hati?
Menurut Mufti, kesalahan desain pada definisi, beban pembuktian, atau prosedur eksekusi bisa berdampak langsung pada masyarakat: rekening dibekukan tanpa kepastian, aset sah terdampak, atau konsumen yang beritikad baik ikut menanggung risiko. Karena itu, partisipasi publik yang bermakna—termasuk uji dengar pendapat dengan komunitas konsumen, akademisi, dan pelaku usaha—perlu dimaksimalkan sebelum pengesahan.
Mufti Mubarok, menegaskan bahwa negara memang harus tegas melawan korupsi dan kejahatan ekonomi, tetapi jangan sampai hukum yang dibuat justru mencederai hak rakyat.
“Kami mendukung penuh upaya negara untuk merampas aset hasil korupsi dan kejahatan ekonomi. Namun, jangan sampai rakyat yang jujur, taat hukum, dan beritikad baik ikut terdampak karena aturan yang terburu-buru. RUU ini harus dikaji secara cermat, transparan, dan melibatkan partisipasi publik. Jangan sampai yang lahir adalah instrumen hukum yang melukai rakyat, padahal tujuan utamanya untuk melindungi rakyat,” ujar Mufti Mubarok
Kesimpulan :
1. Keselarasan dengan UUD 1945:
– Pasal 28H ayat (4): hak kepemilikan dijamin dan tidak boleh dirampas sewenang-wenang.
– Pasal 28D ayat (1): kepastian hukum yang adil.
– Maka, RUU harus memberi rambu due process of law & proposionalitas agar tetap konstitusional.
2. Keterkaitan dengan Perlindungan Konsumen
– Konsumen adalah pemilik sah harta hasil usaha, tabungan, atau investasi.
– Jika pasal RUU multitafsir, ada risiko masyarakat umum (konsumen) menjadi korban salah sasaran.
– Aspek kepercayaan: bila perampasan aset rawan disalahgunakan, masyarakat kehilangan rasa aman untuk berinvestasi, menabung, atau bertransaksi → menurunkan kepercayaan konsumen pada negara.
– Asas kepastian & keadilan yang dijamin UUD 1945 sejalan dengan filosofi UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999), yakni melindungi hak konsumen atas rasa aman, kepastian hukum, dan tidak diperlakukan sewenang-wenang.
– Maka, memperkuat pengaman dalam RUU ini secara langsung juga memperkuat perlindungan konsumen sebagai warga negara pengguna sistem hukum.
Intinya “BPKN RI mendukung penguatan pemberantasan korupsi lewat perampasan aset yang terukur dan adil. Cepat boleh, asal tepat. RUU ini harus menjadi instrumen efektif memulihkan kerugian negara tanpa menggerus hak konstitusional warga dan konsumen yang beritikad baik”. Tutup Mufti Mubarok.
